Foto : Eka Fendiaspara |
Senja hari, ketika matahari telah terbenam penuh
keindahan di balik gunung-gunung di sekeliling tasik itu, barulah ia berangkat
ke Liwa. Malam sampailah ia di sana....
Keesokan harinya Yusuf pergi mengikuti Sukartono pergi ke
Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berkelok-kelok menurun menuju ke bawah,
hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya
pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang …”
ITULAH
jejak literasi tentang keindahan Liwa (Lampung Barat, termasuk Pesisir Barat
kini) dalam roman Layar Terkembang
karya St. Takdir Alisyahbana (diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka,
1936) yang tercantum di halaman 54.
Di
halaman lain Layar Terkembang ini tertulis:
“…telah sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari
sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi,
kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan
kebesaran alam yang dilihatnya …” (Surat Maria kepada Yusuf dalam dalam
Layar Terkembang)
Sebelum
membahas lebih lanjut tentang jejak literasi Liwa, biar kelihatan ilmiah
sedikit, perlu dibahas pengertian dari literasi.
Literasi
Secara
sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara.
Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa
berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap
lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of
America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan
pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang
baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca
dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Sekarang
ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari
keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner
(2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan
tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga
kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan
manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat
makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima
sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Untuk
keperluan makalah ini saya perlu membatasi bahasan (1) mengenai informasi
tertulis tentang Liwa, terutama karya sastra, baik dari penulis yang berasal
dari Liwa maupun yang bukan dari Liwa; dan (2) tentang orang-orang Liwa, bisa
lahir di Liwa, besar di Liwa atau ada keturunan Liwa.
Tentang Liwa
Literatur
yang lebih tua tentang Liwa adalah Catatan Perjalanan ke Danau Ranau di
Pedalaman Krui yang ditulis J. Pattullo di tahun 1820 (ada di buku Malayan
Miscellanies Vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822), yang
diterjemahkan Yulizar Fadli dan dimuat di Jurnal Kebudayaan Akal Volume
1/Januari 2013 hlm. 28-34.
Perjalanan
rombongan J. Pattulo dimulai dari Kroer (Krui) pada 19 September 1820, menginap
di dusun Uluh. Sehari kemudian bermalam
di Weya Assat (Way Asat), lalu berjalan antara lain ke Pulau Pisang,
Lumbok, Surabaya di Banding Ranau, Gunung Seminung, Sukau, Lewah (Liwa), dan
kembali ke Krui. Kita kutipkan:
"Pagi
hari tanggal 5, kami meninggalkan Sukau ke Lewah (Liwa) di mana kami sampai
pada sore hari -- juga tak beruntung selama perjalanan hari ini karena tidak
bisa menentukan perjalanan. Dewa Lewah menawarkan sesuatu yang tak berarti.
Desa ini terletak sangat rendah dan iklimnya sangat dingin dan lembab....
Lewah
diatur seorang Pangeran dari sebelas penasehat yang bekerjasama dengan Kerabat
Terhormat. Budaya dan kebiasaan benar-benar sama dengan para penduduk di
Lampung lainnya."
Tulisan
yang tidak menarik karena agaknya Pattulo kurang mahir memainkan pena dan tidak
mampu menyerap keindahan tempat yang ia kunjungi. Walaupun demikian, tulisan
ini penting mengingat minimnya literatur yang membicarakan Liwa (atau Lampung
pada umumnya). Dalam catatannya ini, Pattulo membuat data populasi penduduk
daerah Lewah yang terdiri dusun-dusun: Bumi Agung, Surabaya, Kasugihan, Paggar,
Negeri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gedong, Sungie, dan Genting.
Beberapa
sastrawan, terutama menuliskan tentang Liwa dalam sajak-sajak mereka. Misalnya,
Fina Sato, penyair kelahiran Subang, Jawa Barat, 16 Februari 1984 menulis
sajak:
Liwa
kupagut
dingin bukitbukit
dara
yang merona
sejuk
wajahmu bagai periperi hutan
tangis
hujan merincik
di
kotamu
membalut
tubuhku dalam pesta sekura
kita
menari, perempuanku!
meremang
sepanjang tanjungkemala
kau
perempuan hijau di punuk pesagi
tidakkah
pertemuan kita
adalah
sunyi?
ke
barat,
kulumat
perjalanan menuju krui
pelabuhan
yang menjejak pulang dan pergi
kabut
kembali meremang waktu
sepanjang
bandar merindu
dan
ikanikan tak henti bertanya
ke
mana arah bidok cinta bermuara
di
sini
orangorang
pun akan bertanya padamu
danau
ranau tempatmu merantau?
menyelami
tiyuh kenangan
berkaca
pada batubatu legam
pada
sawahsawah basah
dan
dendang burung di reranting pinang
lalu
membasuh hitam rambutmu
di
percikan kubuperahu?
kita
luluh di kota tua ini
arus
angin menggerus waktu
akhir
usia di pucuk gunung
diantara
uapacaraupacara adat
kita
menari, perempuanku!
karena
ikanikan terus bersenandung
sepanjang
way
di
jalanjalan
tepian
hutan
Bumi
Singgah, 2006
Keterangan:
Bidok :
bendungan-bendungan tempat ikan (Lampung)
Tiyuh :
kampung (Lampung)
Way :
sungai (Lampung)
Orang Liwa Menulis
Memang
kalau hendak dibandingkan dengan Sumatera Barat, Lampung -- apatah lagi Liwa --
memang belum apa-apanya. Tapi, orang Liwa patut berbangga karena sesungguhnya
dunia literasi di daerah ini telah lama hidup.
Adalah
Haji Sulaiman Rasjid bin Lasa (1898-1976) yang menyusun buku fikih pertama di
negeri ini. Fiqih Islam, terbit 1951, karangan pria kelahiran Pekon Tengah,
Liwa, tahun 1898, menjadi buku wajib di perguruan tinggi dan menengah di
Indonesia serta Malaysia, sampai sekarang. Pendidikannya: Sekolah Mualim,
sekolah guru di Mesir dan Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo Mesir, Jurusan
Takhasuhus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) selesai tahun 1935. Tahun 1936 ia ditunjuk
Belanda sebagai Ketua Penyelidik Hukum Agama di Lampung, lalu tahun 1937--1942
menjadi Pegawai Tinggi Agama pada Kantor Syambu dalam Zaman Pendudukan Jepang.
Ia meninggal di Bandar Lampung, 26 Januari 1976.
Sejawat
Sulaiman Rasyid, Rais Latief (1900-1977) juga menyusun terjemahan hadis sahih
Muslim bersama dengan H. Abdul Razak (asal Kotabumi). Buku-buku tersebut
merupakan cikal-bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa
kemudian hari. Buku tersebut sangat populer beredar dan dicetak berulang-ulang
di Malaysia dan Singapura.
Sekitar
1962 setelah pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Agama, ketimbang
mengajar di perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, beliau memilih pulang ke
Lampung. Di Lampung Rais kembali memimpin Sekolah Tsanawiah Muhammadiyah Pekon
Tengah Sebarus. Sekolah ini sampai kelas IV. Karena tidak ada aliah di Liwa,
para alumnusnya melanjutkan di kota-kota lain seperti Yogya. Dengan kualitas
memadai, lulusan tsanawiah ini bisa diterima di kelas II aliah atau SMA di
Yogya.
Rais
tetap mengajar sampai berusia 70 tahun. Beliau wafat pada usia 77 tahun dan
dikebumikan di Desa Sebarus Liwa di dekat tempatnya mengajar dan di tengah
masyarakat yang begitu dicintainya.
Anak
Rais Latief, Sazli Rais kelahiran Sebarus, Liwa, Lampung Barat, 14 Desember
1944 juga lekat dengan dunia pers yang tidak bisa tidak bersentuhan dengan
tulis menulis. Suaranya berat dan mengalun empuk mengetuk ruang-ruang keluarga
Indonesia pada era 1970-80-an. Sebagai pembawa berita di TVRI dan RRI, nama,
wajah, dan suara Sazli Rais populer sekali, menembus gunung-gemunung di
pedalaman Lampung Barat, tanah kelahirannya.
Masih
dari Sebarus, Lincolin Arsyad (lahir di Liwa, 21 Juli 1958) Lincolin Arsyad
mampu menembus jajaran ekonom elite di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada, gudangnya ekonom di Tanah Air bersama Universitas Indonesia.
Ia
dilantik sebagai dekan FEB-UGM pada 14 November 2007. Dengan demikian,
Lincolin-lah dekan pertama di lingkungan UGM yang berasal dari Lampung. Prestasi
Lincolin sangat gemilang karena kompetisi dosen di UGM dikenal sangat
terstruktur dan ketat, terlebih untuk fakultas ekonomi. Ia menulis beberapa
textbook ilmu ekonomi.
Generasi
selanjutnya mulai lahir beberapa nama yang menggeluti dunia kewartawanan dan
kesusastraan: Imron Nasri (1965-..), redaktur Majalah Suara Muhammadiyah
Yogyakarta, yang banyak menulis dan mengeditori buku-buku nonfiksi, ZA Mathika
Dewa (1970-1998) melahirkan manuskrip kumpulan sajak Pencarian, Udo Z. Karzi
(1970-...) menulis buku puisi Momentum (2002), Mak Dawah Mak Dibingi (2007),
dan Mamak Kenut (2012). Lalu Muhammad
Harya Ramdhoni (...) menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011)
dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012).
Dan yang terkini Fitri Yani (lahir 1986) yang melahirkan buku puisi Dermaga Tak
Bernama (2010) dan sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak berbahasa Lampung.
Penutup
Terlihat
alam dan manusia Liwa sangat menarik untuk ditulis dalam bentuk apa pun: puisi,
cerpen, novel, catatan perjalanan, feature, atau studi.
Jadi,
apalagi?
Sumber : pustakalabrak
0 Komentar