Gambar : Google.com |
Upaya pencatatan Warisan Budaya Takbenda
(WBTb) Indonesia sejak tahun 2010 kini mulai memperlihatkan hasil. Sampai
dengan akhir tahun 2019, tercatat 1.086 mata budaya dari seluruh nusantara
telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Dua belas di
antaranya bahkan telah diakui dunia dengan diperolehnya status Intangible
Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda dari The United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).
Kedua belas
WBTb Indonesia yang telah diakui dunia sampai dengan tahun 2019 adalah
pertunjukan wayang, keris, batik, pendidikan dan pelatihan batik Indonesia
sebagai Warisan Budaya Takbenda untuk pelajar Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, angklung, Tari Saman, Tas Noken, tiga genre
tari tradisional di Bali, Pinisi sebagai seni pembuatan kapal di Sulawesi
Selatan, pantun, tradisi Pencak Silat, dan gamelan. Pengakuan diperoleh setelah
melalui pengajuan resmi WBTb Indonesia oleh pemerintah Indonesia kepada UNESCO.
Pencatatan mata budaya yang
kemudian dilanjutkan dengan penetapan WBTb Indonesia merupakan langkah penting
dalam upaya perlindungan dan pelestarian atas keragaman budaya takbenda di
Indonesia. Beberapa peristiwa “diakuinya” mata budaya Indonesia oleh negara
tetangga pada masa yang lalu seakan membuktikan bahwa bangsa Indonesia belum
memiliki perhatian khusus terhadap upaya pelestarian kebudayaan. Namun, dengan
adanya kegiatan pencatatan, maka jalan menuju pengakuan secara luas terhadap
mata budaya Indonesia pun semakin terbuka.
Konvensi UNESCO 2003
Jika menilik ke belakang,
langkah awal kegiatan pencatatan WBTb dimulai dari pertemuan UNESCO di Paris,
Prancis, tanggal 17 Oktober 2003. Pada sesi ke-32, pertemuan menyetujui
Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage atau
Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda. Untuk itu, konvensi perlu
disahkan dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007
tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya kemudian hadir
dan menjadi dasar bagi Indonesia untuk melakukan kewajiban pencatatan mata
budaya.
Penetapan
status budaya takbenda menjadi WBTb diberikan oleh menteri yang membidangi
kebudayaan, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan rekomendasi
tim ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Sampai dengan tahun 2019,
koordinasi penetapan WBTb berada di bawah Direktorat Warisan dan Diplomasi
Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud). Kini, penetapan WBTb menjadi tugas Direktorat Pelindungan
Kebudayaan.
Dalam
Konvensi UNESCO tahun 2003 tentang Perlindungan WBTb pasal 2 ayat 2 dijelaskan
bahwa WBTb adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan,
keterampilan (serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya yang
terkait dengannya); termasuk di dalamnya masyarakat, kelompok, dan dalam
beberapa kasus, perorangan, merupakan bagian dari warisan budaya tersebut.
Sifat
WBTb yakni diwariskan dari generasi ke generasi dan secara terus menerus
diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi lingkungan
sekitarnya serta interaksi dengan alam dan sejarah mereka. WBTb juga memberikan
rasa identitas yang berkelanjutan, sebagai penghargaan terhadap perbedaan
budaya dan kreativitas manusia.
Untuk
tujuan konvensi, pertimbangan hanya akan diberikan kepada WBTb yang kompatibel
dengan instrumen hak asasi manusia internasional yang berlaku, serta dengan
persyaratan saling menghormati antarkomunitas, kelompok, dan individu, dalam
upaya pembangunan berkelanjutan.
Lima Domain
Secara khusus, WBTb dibagi
atas lima domain, yakni tradisi lisan dan ekspresi; seni pertunjukan; adat
istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan
perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau keterampilan dan kemahiran
kerajinan tradisional.
Budaya takbenda yang termasuk
ke dalam tradisi lisan dan ekspresi adalah bahasa, puisi, cerita rakyat, mantra
(yang terpengaruh dari budaya lokal), doa (yang merupakan pengaruh dari agama),
nyanyian rakyat, peribahasa, teka-teki rakyat, dan pertunjukan dramatik seperti
seni teater yang bersifat spontan, contohnya lenong.
Salah satu tradisi lisan dan
ekspresi awal yang ditetapkan menjadi WBTb Indonesia adalah aksara Ka Ga Nga
yang merupakan warisan bersama. Dalam perspektif sejarah, secara umum bangsa
Indonesia mengenal aksara daerah pada dasarnya berasal dari India, termasuk
aksara Ka Ga Nga. Penyebaran aksara Ka Ga Nga banyak terdapat di daerah
Bengkulu, Jambi, Sumatra Selatan, dan Lampung. Budaya takbenda ini ditetapkan
menjadi WBTb pada tanggal 1 Januari 2013.
Pada domain seni pertunjukan,
termasuk di dalamnya adalah seni tari, seni suara, seni musik, seni teater, dan
seni gerak, seperti akrobat dan bela diri. Budaya Takbenda yang telah
ditetapkan menjadi WBTb Indonesia pada domain ini contohnya adalah Tari
Maengket dari Sulawesi Utara yang penetapannya disetujui pada tahun 2013.
Tari Maengket merupakan tari
tradisional masyarakat Minahasa yang dilakukan dengan tujuan menerangi, membuka
jalan, dan mempersatukan masyarakat pendukungnya. Hal ini dilakukan dalam
situasi kegiatan panen padi (Maowey/Makamberu), selamatan rumah baru
(Marambak), dan pergaulan muda-mudi (Lalayaan).
Kemudian pada domain adat
istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan, termasuk di dalamnya adalah
upacara tradisional, hukum adat, sistem organisasi sosial, sistem kekerabatan
tradisional, sistem ekonomi tradisional, dan perayaan tradisional. Salah satu
contoh WBTb dalam domain ini adalah Pemamanan dari Aceh yang ditetapkan tahun
2018.
Istilah pemamanan tidak lepas
dari kata paman, yakni laki-laki dari garis ibu, bisa sebagai adik atau kakak
ibu. Masyarakat suku Alas di Aceh mempercayai paman sebagai penanggung jawab
atas perhelatan pesta sunat dan nikah sang keponakan. Dalam pesta sunat, sang
paman bertanggung jawab memberikan tunggangan kuda kepada anggota keluarga
keponakan dan menuruti segala permintaan sang keponakan.
Lalu pada domain pengetahuan
dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, termasuk di dalamnya adalah
pengetahuan mengenai alam, kosmologi (perbintangan, pertanggalan, navigasi),
kearifan lokal seperti misalnya pengurangan risiko bencana berbasis budaya, dan
pengobatan tradisional. Salah satu WBTb yang sangat dikenal masyarakat
Indonesia adalah minyak kayu putih dari Maluku, khususnya Pulau Buru.
Masyarakat Buru berupaya
menggunakan pengetahuan mereka untuk menjadikan daun kayu putih sebagai tanaman
yang berkhasiat dan sebagai obat tradisional. Tak pernah diketahui secara pasti
kapan industri kecil (penyulingan minyak kayu putih) ini dimulai. Namun,
kebiasaan ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang dan berlangsung
turun-temurun. Dari keahlian menyuling minyak kayu putih, masyarakat Buru
banyak yang menjadi pengrajin minyak kayu putih. Minyak kayu putih ini kemudian
dijual hingga ke luar Pulau Buru, bahkan hingga ke berbagai pelosok nusantara.
Domain
kelima WBTb adalah keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Domain ini
terdiri atas teknologi, arsitektur, pakaian, kerajinan, kuliner, transportasi,
dan senjata yang kesemuanya berbasis tradisional. Situs
warisanbudaya.kemdikbud.go.id mencatat, salah satu budaya takbenda yang
berhasil ditetapkan sebagai WBTb pada tahun 2019 adalah Mbitoro atau patung
Mbitoro dari Papua.
Patung
Mbitoro adalah seni adiluhung yang dimiliki suku Kamoro, salah satu suku di
Papua. Patung Mbitoro rata-rata memiliki tinggi di atas satu meter, terbuat
dari kayu bulat dan utuh, serta berdiameter sekitar satu meter. Patung itu
harus dimiliki oleh sebuah Karapao (rumah adat). Mbitoro berdiri tegak di depan
rumah adat yang dihiasi dengan berbagai ornamen yang melambangkan kehidupan
alam dan makhluk hidup. Mbitoro sangat penting dalam tiap upacara adat penduduk
Kamoro.
Daftar
WBTb Indonesia masih terus akan bertambah. Hingga pertengahan tahun 2020,
pencatatan budaya takbenda dari berbagai daerah mencapai jumlah 9.748. Artinya,
banyak mata budaya Indonesia yang masih dalam proses melengkapi atau
memperbaiki berkas, baik itu formulir, foto, video, atau kajian terkait.
Kelengkapan ini sangat diperlukan agar mata budaya tersebut kuat secara
substansi dan akhirnya dapat ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda
Indonesia. Lamanya proses ini tentu saja relatif, dapat memakan waktu singkat
atau bahkan sangat lama, namun tetap penting untuk dilakukan sebagai langkah
perlindungan dan pelestarian budaya Indonesia. Terlebih lagi, dapat menjadi
langkah awal yang kuat bagi pengakuan dunia melalui UNESCO.
Sumber : Majalah Jendela Kemdikbud
0 Komentar