Foto : Google.com |
Pada hari raya Idul Adha sering juga disebut Idul Kurban, hari ini, yakni
sebuah ibadah dengan berkurban memotong hewan sebagai bentuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya dan wujud peduli kepada sesama manusia.
Selain bentuk ibadah, berkurban juga banyak mengandung nilai-nilai
pendidikan, ada tiga nilai pendidikan dalam idul Adha atau Idul kurban.
Pertama, pendidikan sosial, yakni bentuk kesadaran dan perwujudan umat manusia
sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memotong hewan kurban yang
hasilnya dibagikan kepada para tetangga.
Dari proses ini para tetangga dan saudara-saudara kita dapat menikmati
makanan yang mungkin selama ini mereka jarang merasakannya. Dalam hal ini
berkurban termasuk dalam kategori ibadah horizontal, ibadah yang turut serta
melibatkan sesama manusia dalam mendapatkan ridho Allah.
Secara historis berkurban juga terdapat nilai-nilai sosial yang berdampak
terciptanya kebersamaan, kekompakan dan persatuan dalam bermasyarakat. Kedua,
pendidikan keyakinan (tauhid) yakni usaha membimbing dan mengenalkan Allah
sesuai dengan nilai-nilai ajarannya agar mempunyai kepribadian yang Islami.
Pada pendidikan tauhid ini terdapat peran Siti Hajar yang sangat
berpengaruh dalam manancapkan keyakinan dan ke-Esaan Allah swt pada diri Nabi Ismail
as sebagai anak yang taat dan patuh kepada Allah dan kedua orangtuanya.
Fakta ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Qs. As-shafat ayat
101-102, 101. “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
Termasuk orang-orang yang sabar”.
Namun dalam sejarah Idul Kurban, peran siti hajar sering kali terlupakan.
Tanpa pendidikan dan penanaman tauhid yang kuat kepada Ismail, sulit untuk
menerima kenyataan yang datang pada Nabi Ibrahim as yang secara logika sangat
bertentangan.
Namun kekuatan tauhid dan akidah yang lurus (salimul a’qidah) yang dimiliki
Ismail membawa dirinya seorang anak yang patut dan taat kepada Allah dan
nabinya. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang
kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang
dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya.
Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan
segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya ‘Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam’ (QS 6:162).
Dilihat dari aspek pendidikan dan pembinaannya membawa kesusksesannya dalam
mendidik dan menanamkan nilai-nilai Ketuhanan (rububbiyah) kepada Nabi Ismail,
yang merupakan salah satu kunci tercapainya pembentukan pribadi muslim yang
taat. Ketiga, sosok Siti Hajar yang cerdas, solehah dan pekerja keras mampu memberikan
pendidikan karakter (character building) kepada Ismail.
Pendidikan karakter menurut Sjarkawi adalah ciri atau karakteristik atau
gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga
bawaan seseorang sejak lahir.
Proses tarbiyah dan pendidikan karakter yang dibangun oleh Siti Hajar
kepada Ismail memberikan warna akhlak yang kokoh (matinul khuluq). Matinul
khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim,
baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-Nya.
Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di
dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi
umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau
sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan
oleh Allah swt di dalam QS Al-qalam ayat 4. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memiliki akhlak yang agung”.
Sosok Siti Hajar yang tidak kenal lelah dalam memberikan pendidikan,
perhatian, kelembutan, dan kesabaran kepada Ismail membuahkan hasil teladan
yang patut ditiru dan panutan bagi kaum ibu-ibu. Sehingga dalam pepatah bahasa
Arab Al-ummu madrosatul uula (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anakya).
Tidak sedikit dalam catatan tinta emas Islam lahirnya para nabi rasul dan
tokoh-tokoh Islam berkat peran pendidikan ibunya. Siti Hajar mampu membesarkan
menjadikan nabi Ismail suri tauladan seorang diri tanpa didampingi oleh
suaminya.
Nabi Isa dibesarkan dan didik menjadi pemuda yang soleh dan sabar berkat
Siti Maryam seorang diri. Imam Syafii seorang ulama madzhab yang masyhur sejak
kecil sudah yatim, namun berkat kehebatan ibunya beliau menjadi imam madzhab
yang disegani dan banyak dianut di dunia.
Tak ketinggalan nabi Muhammad SAW sejak umur 2 bulan dalam kandungan
sudah ditinggal sang ayah dan menjadi yatim, Namun sang ibunda Siti Aminah
dengan sabar dan kerja keras membesarkannya menjadikannya nabi Muhammad manusia
yang agung dan mulia.
Ini menandakan bahwa pendidikan dari seorang ibu merupakan kunci utama
kesuksesan anaknya kelak dan kesabarannya merupakan senjata yang akan
membuatnya patuh dan taat kepada Allah dan kepada kedua orangtuanya.
--------------
Penulis : Sopian Asep Nugraha, M.Pd
Sumber : kuningmass.com
0 Komentar