TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG DI WEBSITE SMA NEGERI 2 LIWA

GENERASI MILENIAL DAN GERAKAN LITERASI

Ilustrasi : komunitasmacarita.wordpress.com

Tantangan zaman kian memanas dibarengi wacana global yang memang sudah tidak dapat dibendung lagi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat hingga ke pelosok-pelosok desa. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya, bahkan agama. Revolusi industri 4.0 adalah satu-satunya wacana hangat yang diperbincangkan generasi milenial saat ini.

Sebagai umat manusia yang hanya sementara menempati bumi, tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan perkembangan ilmu pengetahun dan teknoogi yang kian pesat ini, seharusnya bagaimana kita dapat membentengi diri kita agar nantinya bisa menyikapi Revolusi Industri 4.0.

Selain revolusi industri 4.0 Indonesia juga akan dihadapkan dengan bonus demografi yang menurut perkiraan akan terjadi di tahun 2020 – 2030. Hal itu pernah disampaikan dalam seminar nasional kependudukan dan lingkungan hidup.

Generasi Milenial

Generasi milennial adalah salah satu kelompok usia dari beberapa kelompok pembagian subkultur berdasarkan usia (Schiffman dan Kanuk, 2010). Pembagian generasi, atau yang biasa disebut generasi kohort (generational cohorts) merupakan salah satu hal yang perlu diperhatian dalam pengambilan keputusan pemasaran manajerial (Motta et al., 2008). Fore (2012) mengungkapkan bahwa generasi millennial lahir di antara tahun 1980 hingga 2000.



Berdasarkan pengertian diatas tentunya Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat produktivitas generasi milenial yang cukup banyak, lebih lagi Indonesia akan diproyeksikan akan mengahadapi bonus demograsi, di mana populasi usia produktif lebih mendominasi dibanding usia non produktif. Jika proyeksi tersebut tidak terlalu melenceng, maka puncak bonus demografi tersebut akan terjadi dua belas tahun lagi, yaitu pada tahun 2030. Populasi penduduk Indonesia pada tahun tersebut diperkirakan akan didominasi oleh mereka yang berusia produktif, yaitu antara 15 hingga 64 tahun.




Populasi yang mendominasi tersebut saat ini sedang berusia antara 3 hingga 52 tahun. Jika diklasifikasikan, paling tidak, mereka ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu kelompok anak-anak hingga remaja (usia 3-20 tahun), kemudian kelompok orang muda (usia 20-40 tahun), dan kelompok orang dewasa (usia 40-52 tahun). Lupakan mereka yang saat ini sudah dewasa dan berada di usia 40 tahun ataupun di atasnya, karena mereka sesungguhnya sudah cukup matang berkembang, sehingga tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mendidik dan mengubah mereka secara karakter dan kepribadian. Ilmu pengetahuan dan Al-quran membenarkan bahwa usia 40 tahun ini merupakan titik awal kedewasaan, sehingga tidak banyak lagi perubahan yang dapat terjadi pada sisi karakter dan kepribadian seseorang.

Tantangan Generasi Milenial

Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat sudah sewajarnya sebagai generasi milenial harus menunjang kreativitas demi bersaing dengan orang lain. Sebab Indonesia kini sudah masuk dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dari hal tersebut membuat persaingan makin ketat dan berat. Cak nun dalam ceramahnya menyebbutkan “Indonesia ibarat rumah tanpa pagar”. Dapat dianalisa bahwa masuknya MEA cukup menggores luka generasi milenial sebab negara luar akan dengan mudahnya masuk ke Indonesia bekerja dan berinvestasi.

Hal itu cukup mengancam eksistensi generasi milenial yang dalam pepatah lama mengatakan “Setelah keluar mau jadi apa”, kata keluar tersebut menggambakan pendidikan. Sudah saarnya kita mendobrak sebuah perubahan menciptakan kreativitas yang selaras dengan perkembangan peradaban. Budaya misalnya, Pramodya Ananta Toer mengatakan “Menulislah agar kau tidak hilang dari sejarah”, selaras dengan yang di sampaikan Imam Syafi’i “Lingkari ilmumu dengan pena”.

Gerakan Literasi

Literasi merupakan sebuah aktivitas intelektual seperti membaca, menulis, serta berdiskusi, dengan kata lain literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan rpses membaca dan menulis.

Menurut National Institute for Literacy adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, menghitung, bercerita, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang dibutuhkan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Defenisi ini meaknai literasi dari perspektif yang lebih kontekstual, dari defenisi ini terkandung makna bahwa literasi tergantung pada ketrampilan yang dibutuhkan lingkungan tertentu.

UNESCO juga menjelaskan hal yang sama. Menurut UNESCO pemahaman orang tentang literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat ketrampilan nyata terlebih khususnya ketrampilan kognitif.

Indonesia memang berhasil menurunkan angka tuna aksara. Namun tantangan berikutnya adalah menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat Indonesia. Penumbuhan budaya baca penting mengingat kemampuan dan keterampilan membaca merupakan dasar bagi seseorang memeroleh pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menjadi generasi literat berarti menuju masyarakat kritis dan peduli. Artinya, kritis terhadap segala informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Sebuah studi yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahhun 2016 mengenai Most literate nation in the world menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 60 dari total 61 negara dengan kata lain minat baca masyarakat Indonesia disebut hanya 0,01% atau satu berbanding sepuluh ribu. Ironiisnya angka ini berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet yang mencapai separuh dari total populasi penduduk Indonesia atau sekitar 132,7 juta jiwa. Bahkan data yang dihimpun statustika.com pada januari 2018 disebutkan bahwa 44% populasi masyarakat Indonesia mengambil foto dan video menggunakan ponsel mereka.

Berdasarkan presentase tersebut dapat diprediksikan bahwa generasi milenial kita lebih sering memainkan gedget ketimbang membaca buku, padahal gedget dapat dimanfaatkan untuk mengakses informasi serta menyediakan aplikasi membaca. Watpatt misalnya. Rendahnya minat baca di Indonesia menurut Colin McElwee, Co-Founder Worldreader salah satu dipengaruhi oleh sulitna mengakses buku. Tak hanya itu Colin juga mengatakan bahwa gempuran inovasi di bidang teknologi membuat masyarakat terutama generasi milenial lebih senang menatap layar handpone dibandingkan membaca buku. “Itu sebabnya kita harus mendekatkan akses buku pada generasi milenial, salah satu dengan menghadirkan ebook secara gratis” ujar Colin pada acara kolaborasi Opera dan Wordreader di Jakarta.

Penulis punya tanggapan berbeda dibuktikan dengan lapak baca yang pernah diselenggarakan oleh HMI MPO Cabang Gorontalo bekerja sama dengan dua komunitas literasi yaitu Macarita dan SC Batulis Hipmi-Malut di ALFA 5 Cafe UNG tidak mendapat respon positif dari kalangan mahasiswa yang berlalu lalang dan notabenenya adalah generasi milenial, hanya beberapa saja yang respon dan maun duduk bersama membaca buku. Ini membuktikan lemahnya generasi milenial terhadap minat baca.

Minat baca dipelbagai daerah memiliki presentase yang berbeda-beda, Kota Tidore Kepualauan salah satu daerah yang memang genjot budaya literasi terhadap generasi milenial dibuktikan dengan beberapa komunitas literasi dan penulis kira cukup giat dan bersemangat membantu mencerdaskan anak bangsa. Seperti yang dilakukan oleh Riswan Muhammad salah satu mahasiswa asal Kota Tidore Kepulauan yang membuka lapak baca di lingkungannya sendiri dan mendapat respon positif dari masyarakat setempat khususnya para remaja yang sering menghabiskan waktunya dengan bermain dan berhura-hura kini lebih senang membaca buku.

Dari beberapa contoh kasus diatas sudah cukup membuktikan bahwa peran dan tantangan literasi di era milenial sudah mengglobal dan menyita perhatian kita semua. Sudah saatnya kita bangkitkan gairah membaca untuk melihat dunia lebih luas, membuat buku itu seperti candu sehingga membuat kita tidak bisa terlepas dan merasa gelisah apabila tidak membaca buku. Tentu itu bukan perkara mudah, bisa diawali dengan kebiasaan membaca komik ataupun cerita-cerita pendek yang memantik perhatian diri sendiri. Lama kelamaan akan terbiasa dan menjadi menjadi kebiasaan, seperti pepatah lama mengatakan “ala bisa karena biasa”.

Budayakan gerakan literasi serta menumbuhkan minat baca pada lingkungan sekitar, dimulai dari diri sendiri dan ajaklah teman-teman sekitar untuk bercerita terhadap apa yang telah dibaca, dengan begitu gerakan literasi bisa mewabah ke yang lainnya. Sebab “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927). Dalil tersebut bisa menjadi rujukan untuk bersama-sama dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama.


Posting Komentar

0 Komentar