Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November. Ditanggal tersebut pada tahun 1945, rakyat Surabaya berperang melawan pasukan sekutu pimpinan Inggris yang memiliki mandat memulihkan ketertiban Indonesia setelah Jepang kalah.
Perang besar ini diawali oleh kedatangan tamu tak diundang, yakni pasukan Inggris, di Surabaya pada Oktober 1945. Kedatangan tentara sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II ini dimanfaatkan oleh Belanda. Mereka ingin memanfaatkan militer Inggris untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Bung Tomo dan sejarah hari pahlawan. Foto: Wikipedia |
Inggris mulai mencampuri urusan pemerintahan. Dikutip dari Pertempuran 10 November di Surabaya karya Vilomena Theorina, sekutu dengan sengaja menempatkan pasukan untuk pertahanan, menduduki lapangan Terbang Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan perusahaan listrik Hindia Belanda.
Sekutu
juga mulai menyebarkan pamflet berisi ultimatum agar rakyat Surabaya
menyerahkan senjata milik Jepang kepada Inggirs. Rakyat Surabaya yang telah
dengan susah payah merebut persenjataan Jepang enggan menuruti ultimatum tersebut.
Akibat
situasi yang memanas, pecahlah pertempuran pada 27-29 Oktober di Surabaya.
Rakyat Surabaya dan sekitarnya berusaha merebut kembali daerah-daerah yang
diduduki sekutu. Petinggi militer Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby tewas
dalam baku tembak.
Meski
hingga saat ini penyebab pasti mengapa Mallaby tewas masih diperdebatkan, saat
itu kematiannya memicu kemarahan sekutu. Pihak Inggris menuduh masyarakat
Surabaya secara licik membunuh Mallaby.
Pada
9 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum agar para pejuang Republik
Indonesia menyerahkan senjatanya dan bertanggung jawab atas kematian Mallaby.
Dikutip
dari buku Pengetahuan Sosial Sejarah, tuntutan tersebut berisi sebagai
berikut:
"Semua
orang Indonesia yang bersenjata, termasuk pemimpin dan pembesar, harus
menyerahkan diri dengan senjatanya di tempat-tempat tertentu sebelum pukul
18.00 sore, tanggal 9 November 1945. Jika ultimatum ini tidak dipenuhi, pukul
16.00 tanggal 10 November sekutu (Inggris) akan menyerbu dari Surabaya dari
darat, laut, udara".
Rakyat
Surabaya tetap menolak menuruti ultimatum tersebut. Gubernur Suryo melalui
radio RRI Surabaya juga menyampaikan penolakan tersebut. Ia juga berpesan agar
rakyat bersiap menghadapi segala kemungkinan untuk mempertahankan kemerdekaan.
“Untuk
mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan
meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani melawan segala kemungkinan.
Berulang-ulang kita telah kemukakan bahwa sikap kita adalah: lebih baik hancur
daripada dijajah kembali”.
Bung
Tomo turut menggelorakan perlawanan rakyat untuk menghadapi kekejaman Inggris.
“Inilah
jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia. Hai Inggris, selama
banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat
membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan
menyerah.”
Pertempuran
pun meletus. Dalam buku 65 Tahun Kepahlawanan Surabaya, Lorenzo Yauwerissa memperkirakan bahwa pertempuran tersebut melibatkan 20 ribu tentara dari Indonesia, sedangkan unsur warga sipil yang terlibat mencapai 100 ribu orang. Ribuan orang gugur dalam peristiwa tersebut, baik dari pihak Indonesia maupun Inggris.
Untuk
menghormati jasa-jasa warga Surabaya yang dengan berani menentang
kesewenang-wenangan penjajah, pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 316
Tahun 1959 menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Disadur dari : kumparan.com
0 Komentar